Laman

Selasa, 05 Juli 2011

'd Returnio My FatTHY

Denting itu telah berubah,,,,,,,

Setidaknya setelah keyakinanku yang hilang beberapa waktu kemarin telah kembali seperti saat ini. Bagaimana bisa yakin tentang janji surga jika Yerusalem sangat jauh dari rumahku. Apalagi Gereja Santo Petrus, tak kalah jauh, pun kota suci lainnya. Namun keyakinan jika aku salah satu jamaah yang akan masuk surga Tuhan yang dijanjikan tiba-tiba kembali hadir. Dan keyakinan ini muncul ketika aku bersama dengan orang-orang yang penuh ketulusan mengumandangkan pujian kepada Putra Terbaik. Penuh keikhlasan dan kekhusu’an

Ritual ini dimulai dengan mengucapkan salam kedamaian dan keselamatan bagi seluruh jamaat yang hadir, sebelum itu kami telah duduk melingkar di dalam bangunan agak tua ini. Bangunan ini dikelilingi rerimbunan pohon tropis, berada di ketinggian 2000 m dpl. Bangunan dengan dinding tembok ini sedikit ringkih menyambut kedatangan udara malam gunung namun tetap dengan senyum menyambut kedatanganku. Hawa dingin tetap menerobos masuk dan berlari- lari diantara celah kami duduk, mereka tak mau sekedar mengintip upacara kami dari balik jendela. Udara dingin ini semakin memperjelas kehangatan diantara kami itu ada. Kehangatan yang terasa kecil ini tetap menampakkan warnanya meski mungkin hanya pendar diantara sinar yang menyilaukan.

Jumlah kami tidak banyak, tak sebanyak lembaran naskah salinan manuskrip yang telah berumur ratusan tahun itu , jika saja setiap dari kami mendapat kesempatan untuk membaca syair – syair pujian agung itu secara bergantian, maka jumlah kami kurang.

Orang-orang yang kaya hati ini berkumpul dengan Kesederhanaan, mereka semua datang dengan memakai penghangat tubuh yang beragam. Mencoba bercanda dengan takdir alam yang dingin di malam itu dengan semarak warna warni jaket, blazer dan macam- macam yang berbeda. Namun keragaman itu tak membuat kami berbeda, setidaknya kami disatukan dengan kesamaan сароhг – semacam sarung yang dipakai hindu india- yang kami kenakan

Kesederhanaan yang aku lihat ternyata tak bisa dirasa oleh telingaku, lantunan- lantunan kisah melalui syair-syair cinta ini begitu agung. Melengking- lengking, campur baur nadasuara, tinggi rendah menjadi satu dalam irama yang khas. Merendah dengan sopan dan terasa berwibawa saat nada meninggi.

Nada nyanyian perlahan mendatar ketika sampai pada Narasi Kejadian kisah suci. Kemudian suasana menjadi menggetarkan hatiku ketika puji-puji itu dikumandangkan bersama.
Malam ini kami tidak ditemani oleh perkusi, tak ada partitur untuk sekedar meletakkan naskah agung ini. Begitu sederhana, di keheningan malam dan di tengah dinginnya udara malam gunung yang mengalir dari puncak. Suasana hikmat, aroma Zibethinus yang banyak terdapak di sekitar tempat ini menambah keharuman(paling ga ini tercium oleh hidungku, hehe) kami menuju ke-khusuk’an bersenandung cinta

Bayu, 3/7 malam yang dingin