Laman

Minggu, 31 Maret 2013

BURUH


Hari ini aku masuk sekolah lebih awal dari biasanya, meski ini hari Sabtu. aku tidak bisa leyeh –leyeh seperti hari sebelumnya. Hari ini Aku diamanati oleh Pak Jono Purek untuk membantu para mahasiswa. Sepertinya akan menjadi hari yang melelahkan untukku.

Budi, mahasiswa yang setiap hari datang ke kampus dengan motor vespanya. kali ini akan menjadi bosku. Berdasrkan apa yang aku lihat semalam di aula lantai 2 gedung utara, siang ini aka nada pertemuan para buruh, pemerhati buruh dan barangkali juga akan hadir makelar buruh. Berbicara buruh, bukannya aku ini juga termasuk buruh. Katanya acara workshop

Budi, mahasiswa semester 6 itu adalah salah satu panitia acara. Kali ini dia menjadi bagian konsumsi, aku bisa menebak lantaran apa yang ia sampaikan kepadaku. Perihal mamiri dan mamirat, Budi itu orangnya ruwet, dia memintaku untuk membeli nasi di warung Primarasa. Padahal, tempatnya agak jauh dari kampus. Otomatis dari  perintah ini aku akan menangggung resiko moral, karena melewati beberapa warung yang juga menjual makanan. Dan Untuk menuju warung Primarasa, akau akan melewati warung Ijo dan warung Jos. parahnya, di kedua warung itulah aku sering ngebon. Namaya juga tugas, pie pie ya harus dilakoni. Toh kalau kewajiban ini akau kerjakan dengan baik pasti akau akan mendapat hakku dengan baik pula

*****

Pukul 10. 00 WIB acara telah berjalan beberapa menit.  aku mendengar seseorang sdang memberikan pidato sambutannya. Meluap-luap sedikit tak terbendung seperti lahar dingin Semeru, juga terdengar riuh laksana demo para buruh menuntut kenaikan gaji.

“Buruh adalah kaum minoritas yang harus kita bela”, sayup –sayup aku mendengar kalimat itu, sedetik itu juga perhatianku beralih.

Kok minoritas? Bukannya 1 pengusaha itu memiliki banyak sekali buruh, minoritas apanya ya? Begitu pikirku. Penggalan kalimat itu memaksa seseorang yang tak pernah mendapat nilai 100 pada mata pelajaran bahasa saat sekolah untuk berpikir kritis, kritis ala buruh kampus. Setelah acara ini selesai dan tugasku rampung, aku harus mendiskusikannya dengan Mas Rifa. Dia seniorku, bukan senior sebagai tukang kebun kampus. Melainkan senior yang aku posisikan sebagai tempatku berkonsultasi semua hal. Kecuali asmar….!. Mengapa minoritas, apa bedanya dengan karyawan, kenapa selalu menuntut kenaikan, kenapa buruh. Dari sudut pandangn sosial dan linguistik. Seolah kalimat itu menjadi tema diskusiku nanti, dan biarlah kalimat itu bergelanyut di dalam labirin otakku.

“Beep……..”, HP bergetar. Satu pesan masuk

“ Cak, amunisi segera disiapkan”, satu kalimat berisi empat kata dengan satu koma memberikan isyarat kepadaku untuk mengambil nasi bungkus di warung yang telah ditentukan, Primarasa.

Dan kelanjutan isyarat itu adalah aku mengambil motorku, keluar gerbang kemudian belok ke kanan sejauh 300 meter. Mengambil nasi harus sendiri atau bisa dengan teman asal rela uang rokok berkurang.
Warung Primarasa. Warung yang terletak tak jauh dari kampus ini lebih sering menjadi jujugan para sopir truk Lombok dari pada sebagai tempat makan mahasiswa, harganya agak lumayan dan memang ini sebanding dengan servisnya. Selalu rame, sebagai orang jawa, terlebih yang tinggal di Banyuwangi, Aku lebih  mempercayai larisnya warung ini karena adanya pengaruh Jimat Sewel Kotel. Semacam pelaris atau santet lah, Santet bukan berarti mengirim sajam ke perut orang lo, menambah daya Image Building tempat usaha juga bisa dilakukan santet. Warung ini memperkejakan 5 karyawan , mereka pantas disebut karyawan karena penampilannya seksi. Dan satu orang penjaga parkir yang kondisi sofwarenya mungkin setengah duabelas. Ciri khasnya memakai topi dengan tulisan Harley. Topi yang dihargai 5ribuan di daerah Bandung.

Setelah memarkir sepeda, aku segera masuk. Aku langsung menuju dapur. Dapurnya lumayan luas, ada beberapa karyawan  nampak sibuk. Sebagian tak asing di mataku, yang sedang Pitel-Pitel itu orang belakang kampus. Yang sedang Cithek Geni orang dekat tugu batas.  Sepertinya kali ini ada wajah yang baru aku lihat. Seorang ibu yang luwes menanak nasi.  Perkiraanku usianya tak jauh dari Bu Ginten si pemilik warung.
“Sampean mas Joyo ya?” Tanya wanita paruh baya itu

“ Injih bu, kok tau nama saya?”

“Kelihatan dari baunya”, jawabnya sambil bercanda. Pastinya dia tak kesulitan menghapalku. Pasti tadi Bu Ginten
telah memberitahunya. Apalagi kaos ospek yang aku pakai sangat mengidentifikasikan diriku sebagai buruh Sekolah Tinggi Ekonomi Durgadurgi.

“Saya mau ambil pesanan bu?”

“Ya, tunggu sebentar ya…”
aku harus menunggu, tak apalah, untung tinggal beberapa bungkus saja.

“Ibu karyawan baru ya?” tanyaku datar

Oalah… karyawan apa to nak, saya ini Cuma buruh Adang Sego. Kebetulan hari ini banyak pesanan, salah satunya pesanannya nak Joyo.”

“Lha biasanya ibu kerjanya apa?”

“Saya ini cuma buruh tani, ya kadang bantu bapak besik-besik di sawah. Kadang diminta tolong tetangga bantu maton” jawabnya dengan senyum merdeka.

“Beh, uangnya banyak bu?. Setiap hari di sawah” tanyaku memancing.

Alah,,, seng penting kenek digae tuku bawang karo Lombok mas”,

Suasana dapur tetap mengepul. Para karyawan setia dengan diri dan tugasnya. Seolah mereka ingin mendarmabaktikan tenaganya demi Motto Agung Warung Primarasa,

“Bedakan Rasanya, Rasakan Bedanya, Yang Penting Rasanya Bung   !!!!!!”

Tidak ada komentar: